Kelola Isu dan Potensi Krisis dari Pulau Dewata

[IMG:img-20150610-135411-edit.jpeg]

Ungkapan sedia payung sebelum hujan rasanya relevan untuk disematkan kepada sekitar 40 praktisi public relations (PR) yang datang dari lebih 30 korporasi/organisasi se-Indonesia. Mereka adalah peserta workshop How to Handle Press Well putaran 29 yang mengangkat tema  Managing Strategic Issue for Handling Potential Crisis, yang diadakan Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat di Bali, pada 10 – 11 Juni 2015, dalam rangkaian forum Jambore Media dan PR Indonesia (JAMMPIRO), besutan Majalah PR Indonesia.

Mengapa para praktisi PR dituntut sedia payung sebelum hujan?  Salah satu aspek krusial dalam dinamika kepiaran adalah bagaimana seorang public relations (PR) mampu mengelola isu-isu strategis yang dihadapi sebagai bekal untuk penanganan potensi krisis yang diprediksi akan dialami korporasi/lembaga tempatnya bekerja. Dalam koridor itulah penting bagi semua praktisi PR dan kehumasan memainkan strategi kepiaran untuk meningkatkan citra dan reputasi korporasi/organisasi masing-masing.

Silih Agung Wasesa, Praktisi PR dan CEO Asia PR yang tampil sebagai narasumber pertama dengan topik Stakeholders Mapping dan Pemetaan Isu-isu Strategis mengatakan, “Etika, nilai, integritas, dan perilaku adalah hal fundamental bagi Corporate Reputation." Tanpa bekal mendasar ini, sulit bagi setiap praktisi PR memahami krisis dan mencari jalan keluarnya. Silih lebih lanjut mengajak peserta untuk belajar dan konsisten membuat pemetaan isu harian. "Buatlah pemetaan isu tiap hari, supaya jauh lebih siap menghadapi potensi krisis," ajak Silih bersemangat.

Tuntutan seorang PR di era multiplatfom dan global saat ini adalah soal kemampuan untuk memetakan, membaca, menganalisa, menerapkan dan mengelola isu-isu strategis korporasi meskipun krisis tidak melanda. Belajar dari kemampuan mengelola isu-isu strategis inilah yang kemudian melahirkan kecakapan praktisi PR untuk memprediksi potensi krisis yang bakal muncul di kemudian hari sekaligus mempersiapkan strategi penanganannya.


Perubahan Mindset

Magdalena Wenas, Presiden PR Society of Indonesia, yang tampil pada sesi kedua  hari pertama workshop, menyampaikan materi tentang bagaimana mendefinisikan dan mengidentifikasi potensi-potensi krisis internal dan eksternal. Materi yang disampaikan Bunda Magda, begitu ia akrab disapa, seolah ingin menegaskan fakta bahwa  dinamika krisis-krisis yang terjadi di Indonesia menyangku tketidaksiapan penanganan dan pengelolaan krisis yang sebagian besar terjadi karena pengelolaan komunikasi krisis tidak berjalan sebagaimana mestinya. Selain karena proses pengelolaan krisis tidak dilakukan dengan pendekatan tata kelola isu dan potensi krisis yang tepat.

"Potensial krisis yang paling besar adalah apabila kita tidak bisa mengelola isu komunikasi,” Magda mengingatkan. Dalam catatan Magda, seringkali krisis yang terjadi juga hanya ditangani secara ad-hoc, bukan bersifat komprehensif. Tidak ada dasar pemetaan, analisa, aksi dan penanganan yang dibangun dan dikelola sejak awal.

Menjawab pertanyaan Fanny Febiyanti dari Bank ICBC Indonesia, Bogy Satrio dari MRT Jakarta, dan Dudi Irawan dari Inpex Corporation tentang bagaimana sebaiknya mengelola isu-isu strategis dan menangani potensi krisis, Magda menggarisbawahi bahwa,  “Apabila terjadi krisis jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan, namun jangan terlalu lamban juga dalam menanggapi.” Lebih jauh Magda memberi penekanan pada perubahan mindset yang diperlukan untuk dapat menerapkan strategic issue yang meliputi manajemen reputasi, persepsi, persuasi dan relasi. "Tanpa perubahan mindset, reputasi tidak akan terbentuk. Dampaknya, begitu krisis melanda, maka kita tidak akan bisa menanganinya," ujarnya.

 

Kebenaran Jurnalisitik

Workshop di hari kedua, menghadirkan Arif Zulkifli, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo yang menyampaikan topik bagaimana para praktisi PR dapat merespons Isu-isu strategis melalui pendekatan media. “Kinerja jurnalistik adalah soal akurat atau tidak akurat, bukan soal benar atau salah," tegas Arif. Lebih lanjut Arif menambahkan bahwa, "Hasil kerja jurnalistik tidak bisa disalahkan sepanjang dilakukan dengan prosedur yang benar." Itulah sebabnya, papar Arif, kebenaran yang muncul dalam produk jurnalistik merupakan kebenaran jurnalistik, bukanlah kebenaran absolut. Sehingga manakala terjadi sengketa akibat pemberitaan, sepatutnya upaya penyelesaiannya menggunakan prosedur jurnalistik pula.

Arif memberi tips kepada para praktisi PR bagaimana mengelola isu di media. Menurut Arif, seorang praktisi PR apabila tengah menghadapi isu atau krisis dia tidak boleh menghindar dari wartawan. Menghindar hanya meyakinkan wartawan bahwa apa yang akan ditulisnya adalah benar. Praktisi PR juga harus meyakinkan dirinya bahwa wartawan bukan malaikat yang tak bisa “dipengaruhi”. Sampaikan sisi baik dari hal-hal baik yang selama ini kita telah kerjakan.

Lalu apa yang kemudian harus dilakukan seorang praktisi PR apabila memiliki masalah  dengan awak media? “Segeralah melakukan klarifikasi kepada media yang bersangkutan, hal lainnya adalah melakukan Media visit, meminta wawancara ulang,  melakukan hak jawab dan mediasi Dewan Pers,” pungkas Arif yang siang itu segera terbang ke Solo dari Bali guna ikut menghadiri acara pernikahan anak pertama Presiden Joko Widodo. *** (lhp)