Melatih Mengelola Krisis dari Makassar

[IMG:image-5-edit.jpeg]

Tiga puluh tujuh praktisi public relations (PR) dari 22 korporasi dan lembaga pemerintah se-Indonesia, berkumpul di Makassar mengikuti workshop tentang strategi PR dalam mengkomunikasikan krisis. Workshop how to handle press well batch #28 yang diselenggarakan Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat dan Majalah PR Indonesia ini berlangsung selama tiga hari, 25 - 27 Maret 2015.

Di hari pertama workshop, Rabu (25/3) dengan dipandu Asmono Wikan, Pemimpin Redaksi Majalah PR Indonesia,  peserta diajak berdiskusi ringan tentang isu PR di balik dua peristiwa besar, konflik KPK - Polri dan kasus kecelakaan Air Asia 28 Desember 2014 serta delay puluhan jam Lion Air yang terjadi Februari 2015 lalu. Peristiwa-peristiwa di atas memang sarat isu pengelolaan komunikasi (PR).

Menilik kedua kasus tersebut, semua peserta workshop sepakat betapa pentingnya seorang CEO atau pimpinan tertinggi sebuah organisasi ikut turun, manakala organisasi atau korporasinya sedang mengalami krisis. "Jika skala krisis memang besar, selayaknya CEO atau pimpinan organisasi itu turun dan memimpin penanggulangan krisis," ujar Deddy Hasibuan, peserta dari CIMB Niaga.

Dalam konteks tersebut, para peserta sepakat kehadiran Tony Fernandez di tengah-tengah penanganan kasus Air Asia adalah langkah yang tepat. "Sebagai CEO, ia hadir di saat yang tepat," imbuh Wiwik Sutrisno dari Jiwasraya.

Sore harinya, peserta diajak panitia berkunjung ke kantor redaksi Harian Fajar, di Gd Graha Pena, Makassar. Di kantor suratkabar ini, peserta memperoleh informasi tentang kiprah Fajar dalam konstelasi industri suratkabar di Indonesia. Peserta juga diajak berkeliling ke ruangan newsroom, berdiskusi dengan sejumlah redaktur yang tengah bekerja.

Di hari kedua workshop, panitia menghadirkan tiga narasumber. Masing-masing Nico Wattimena, konsultan dan pengajar PR di LSPR Jakarta, Benny Butar Butar (Head of Corporate Communications Citilink), dan Gatot S Dewabroto (Juru Bicara Kemenpora). Nico menyajikan sejumlah pengalamannya ketika ikut menangani program komunikasi beberapa perusahaan yang mengalami krisis. Salah satunya yang menurutnya paling berat adalah dalam kasus lumpur di Sidoarjo yang melipatkan PT Lapindo, anak usaha Bakrie Grup.

"Kasus tersebut benar-benar menyita energi kami. Kepercayaan publik sangat minim pada Lapindo. Namun kami terus mencoba membangun komunikasi dengan menyampaikan apa yang menjadi fakta di lapangan melalui media," paparnya bercerita. Pada akhirnya, jalan terakhir berkomunikasi kepada publik dilakukannya dengan memasang iklan di media. "Isi iklan itu menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi pada kasus lumpur Sidoarjo, mengutip pendapat para ahli yang berkompeten," imbuh Nico.

Akses dan Kepercayaan
Pada akhirnya, salah satu kerja PR, menurut Benny Butar Butar adalah membangun kepercayaan publik terhadap sebuah korporasi atau organisasi. "Kepercayaan itu bisa dibangun dan dikelola dengan baik jika kita memiliki akses. Termasuk akses ke media," kata Benny.

Seorang praktisi PR menurutnya harus mau turun ke lapangan, bergaul dengan banyak kalangan. "PR jangan cuma berada di balik meja. Berkelilinglah ke lingkungan para pemangku kepentingan Anda. Itu akan menjadi modal penting manakala organisasi atau korporasi kita mengalami krisis," tegasnya.

Menutup sesi hari kedua, Gatot tampil dengan sejumlah pengalamannya mengelola komunikasi lembaga pemerintah. Mulai di zaman ia berada di Kementerian Kominfo hingga kini di Kementerian Pemuda dan Olahraga. "Sekarang saya banyak mengelola urusan sepakbola," ujar Gatot yang menjadi anggota Tim 9 PSSI tersebut.

Pengalamannya menunjukkan, di manapun bertugas, ia senantiasa membangun kedekatan hubungan dengan wartawan. "Makanya ketika saya terlibat dalam "krisis" dengan sejumlah pihak, saya merasakan banyak dibantu oleh teman-teman wartawan tanpa saya menuntut kepada mereka," katanya.

Apresiasi Workshop
Di hari terakhir workshop, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Trias Kuncahyono memaparkan berbagai perubahan yang terjadi dalam tata kelola berkomunikasi kekinian. Menurutnya, berbagai perubahan itu perlu dipahami para praktisi PR supaya tidak gagap dalam menjalin relasi dengan para pemangku kepentingannya. "Dalam konteks ini, menjalin kedekatan hubungan dengan jurnalis harus terus dikembangkan secara berkelanjutan. Tidak cuma kepada pimpinan tapi juga pada para jurnalis di lapangan," saran Trias.

Sejumlah peserta memberi kesan positif atas workshop di Makassar ini. "Pengelolaan workshop yang mengkombinasikan sesi kelas dan di luar kelas sangat menarik. Membuat kami para peserta lebih dekat dan akrab. Baru kali ini saya ikut workshop model seperti ini," ujar Deddy mengapresiasi jalannya workshop. ***(asw)