Menguatkan Organisasi dengan Menabung Reputasi

[IMG:main-foto.jpeg]

Salah satu faktor yang membentuk reputasi perusahaan atau organisasi muncul dari opini yang berkembang di masyarakat. Manakala opini yang muncul bersifat negatif, sudah barang tentu akan mengoreksi reputasi organisasi tersebut. Itulah sebabnya, setiap perusahaan dan organisasi butuh meningkatkan rekening reputasinya di mata publik, supaya tidak mudah goyah karena terpaan opini negatif.  Setidaknya itulah pemikiran utama yang mengemuka dalam The 24th How to Handle Press Well bertema “Opini Publik, Sengketa Jurnalistik dan Litigasi Public Relations”, yang dihelat Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat di Surabaya, 3 - 5 September 2014 dan diikuti 49 peserta dari 25 korporasi/organisasi di Indonesia.
Direktur Eksekutif SPS Pusat Asmono Wikan yang membuka acara menyampaikan materi tentang Media Landscape di Indonesia. Menurutnya, industri media sejatinya tidaklah besar. Bahkan kapitalisasi industri media masih kalah dibanding aset sebuah perusahaan perbankan nasional terkemuka. Namun mengapa industri media dianggap “besar”? “Itu karena faktor pengaruh yang ditimbulkan oleh (pemberitaan) media, yang mampu membentuk opini masyarakat,” ujarnya
Di hari pertama workshop tersebut, peserta juga berkesempatan  mengunjungi kantor redaksi harian Jawa Pos. Kunjungan ini bertujuan untuk melihat secara langsung cara kerja media. Selain mengunjungi kantor Jawa Pos, para peserta workshop juga menikmati city tour ke monumen kapal selam.
Mengisi hari kedua workshop, hadir salah satu CEO yang dikenal dekat dengan media, Dwi Soetjipto. Direktur Utama PT Semen Indonesia (Persero) Tbk, itu hadir bersama Sunardi Prionomurti, Direktur utama PT Semen Gresik. Menurut Dwi, pemikiran strategis harus diinternalisasi kepada setiap karyawan berkali-kali. Supaya semua orang di organisasi memahaminya dengan baik. Masih lanjutnya, “Kekuatan tidak bisa menjadi kompetensi jika tidak digunakan.”

Sementara itu,  Magdalena Wenas, President PR Society yang mengisi sesi setelah Dwi mengatakan, “Untuk membentuk opini publik yang baik kenalilah lebih dahulu stakeholder Anda.” Lebih jauh Magda mengatakan, “Komunikasi tidak lagi bersifat satu arah melainkan bersifat dua arah dan memberikan feedback.” Sekarang merupakan era transparansi publik yang dicirikan oleh perkembangan sosial media yang digunakan sebagai sarana untuk memberikan informasi yang cepat. “Opini publik yang kita bangun, bisa menjadi penawar dari pemberitaan negatif yang merugikan perusahaan. Jangan sampai pemberitaan negatif itu menumpuk dan akhirnya “membusuk” hingga membuat permasalahan semakin panjang,” sambung wanita yang akrab disapa bunda tersebut.
Di sesi terakhir workshop hari kedua, hadir Adita Irawati, VP Corporate Communication PT Telkomsel yang bercerita tentang “Berbagi Pengalaman Mengelola Opini Publik, Sengketa Jurnalistik, dan Litigasi PR”. Ia menyoroti strategi dalam mengatasi opini publik tentang pemberitaan yang buruk adalah dengan cara listening (identifikasi opini yang berkembang), showing (menunjukkan komitmen bagi seluruh pemangku kepentingan), dan concerns (peduli dengan kekhawatiran para pemangku kepentingan). Adita pun menuturkan soal pengelolaan krisis komunikasi. Menurut pengalamannya, sebaiknya setiap organisasi/korporasi sudah menyiapkan sebuah tim untuk mengantisipasi potensi krisis. “Supaya saat terjadi krisis, tim tersebut bisa segera bekerja karena sudah memiliki tannggungjawab tugasnya masing-masing. Termasuk tim komunikasi,” sarannya.
Pada hari terakhir workshop,  Bambang Harymurti, CEO Tempo Inti Media membeber soal mengelola hubungan dengan pers. Bambang juga mengulas soal reputasi. “Reputasi dibangun laiknya sebuah rekening bank. Harus diisi terus-menerus agar semakin menguat,” ujar lelaki yang sering disapa BHM ini. Masih menurut mantan Anggota Dewan Pers itu, “Tugas wartawan adalah membuat sesuatu yang rumit menjadi lebih sederhana untuk dipahami audiens.” Lebih jauh Bambang menjelaskan saat membuat press conference, sebaiknya menampilkan isu yang paling seksi bagi media. *** (ris/nia/asw)