PR Penjaga Reputasi Organisasi

[IMG:pr-penjaga-reputasi.jpeg]

Siapa tak bangga jika dirinya merupakan penjaga reputasi organisasi yang dinaunginya? Dan, itulah yang sejatinya terjadi pada sosok setiap praktisi kehumasan (public relations/PR). Karenanya, seorang PR wajib membuat dirinya semakin trampil dan profesional dalam menjalankan fungsi dan perannya bagi organisasi.

Begitulah benang merah diskusi yang berkembang selama tiga hari dalam workshop The 23rd How to Handle Press Well bertema “Strategik PR dan Manajemen Komunikasi Publik”, yang dihelat Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat di Semarang, 18 - 20 Juni 2014. Workshop diikuti 54 peserta dari 39 korporasi/organisasi di Indonesia. Direktur Eksekutif SPS Pusat Asmono Wikan membuka acara dengan menyampaikan materi tentang Media Landscape di Indonesia. ”Praktisi PR harus bisa memahami peta media di Indonesia secara detil," ujar Asmono.

Sementara itu, Leila Djafaar, EVP Corporate Affairs Bank Permata, yang tampil di belakang Asmono pada hari pertama workshop, menghimbau agar para praktisi PR memiliki sertifikasi PR. "Sertifikasi PR ini penting, agar meningkatkan bobot PR itu sendiri," katanya. Di bagian lain, salah satu Pengurus Pusat Perhumas ini mengatakan, "PR adalah penjaga reputasi korporasi/organisasi."

Menurut wanita yang sudah belasan tahun menjadi PR di berbagai perusahaan besar itu, seorang PR harus mampu mengelola isu yang menimpa korporasi atau organisasinya. Ia pun berharap, agar aktivitas media relations yang dikembangkan PR harus dilakukan secara konstan.

Mengisi hari kedua workshop, hadir Magdalena Wenas, President PR Society. Ia menyoroti aspek strategik pendekatan kehumasan. Menurutnya, ”Suatu perusahaan dalam menjalankan strategi komunikasi bisa jalan jika mendapat dukungan semua elemen di dalamnya." Lebih jauh, Magda, demikian perempuan paruh baya ini akrab disapa, berujar bahwa strategi dalam sebuah organisasi adalah jiwa. Walaupun era informasi dan teknologi komunikasi semakin canggih, bagi Magda seorang PR 2.0 tetap perlu menggunakan media tradisional dalam berkomunikasi pada publik.

Di sela-sela workshop, panitia mengajak peserta mengunjungi kantor redaksi Suara Merdeka, di Jalan Kaligawe, Semarang. Kunjungan ini bertujuan mengenalkan kantor redaksi media lokal, sekaligus mengetahui lebih dekat sosok harian Suara Merdeka.

Usai kunjungan, sesi kelas pun kembali dilakukan, menghadirkan Nurjaman Mochtar, Ketua Forum Pemimpin Redaksi (Pemred) Indonesia. Nurjaman mengatakan, “Tugas broadcaster adalah mengemas sebuah informasi jadi menarik ditonton." Ia juga menjelaskan, posisi seorang wartawan harus independen. Merespons pertanyaan peserta soal banyaknya tayangan di televisi yang tidak mendidik, Nurjaman pun menghimbau agar setiap orang tua harus melakukan literasi media kepada anak-anaknya.

Di hari ketiga workshop, dengan materi “Kisah Sukses Organisasi/Korporasi dalam Mengelola Komunikasi Publik”, hadir Boy Rafli Amar, Karopenmas Mabes Polri dan Sugeng Priyono, VP Communication PT Kereta Api Indonesia (Persero). Dengan bangga, Boy menjelaskan bahwa, “Lebih dari 4000 Polsek di Indonesia sudah memiliki staf humas. Dan kini setiap anggota Polri akan menjadi agen kehumasan.” Fakta ini menunjukkan semakin pentingnya aspek komunikasi dipahami Polri, sekaligus merupakan bentuk keterbukaan lembaga penegak hukum ini kepada publik dan media.

Sementara itu, Sugeng Priyono berujar, "Humas harus dilibatkan dalam pengambilan kebijakan manajemen.” Dengan cara itu, maka humas setiap organisasi mampu menyampaikan kebijakan-kebijakan manajemen kepada media lebih leluasa. *** (ris/nia/asw)