Krisis Tidak Perlu Ditakuti

[IMG:krisis-tak-perlu-ditakuti.jpeg]

Mengelola sebuah krisis jelas bukan urusan mudah. Jika tidak memiliki kesigapan dan pengetahuan memadai, krisis akan menggerus reputasi organisasi atau korporasi yang mengalaminya. Sungguh pun demikian, krisis tidak perlu ditakuti.

Setidaknya, begitulah nasihat Heri Rakhmadi, Majelis Pakar Perhumas, ketika berbicara dalam forum workshop How to Handle Press Well di Kuta, Bali, Rabu (14/05/2014). "Tidak perlu takut akan terjadinya krisis," katanya. Toh demikian, "Cegahlah krisis sebelum benar-benar menjadi krisis," imbuh Heri mewanti-wanti.

Dari begitu banyak upaya pencegahan terhadap krisis, sebuah saran datang dari Wahyu Tumakaka, Pelaksana Tugas Direktur P2 Humas Ditjen Pajak. "Buka dan jalinlah hubungan dengan berbagai saluran media. "Karena hal ini sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya krisis komunikasi," ujar Wahyu yang berbicara satu sessi dengan Heri pada workshop bertema "Membangun Reputasi Melalui Kisah Sukses Mengelola Krisis" tersebut. Workshop yang diselenggarakan Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat ini, diikuti 47 peserta dari 28 organisasi dan korporasi dari seluruh Indonesia.

Pada bagian lain, Ariz Zulkifli, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo mengungkapkan sudut pandang jurnalisme kepada peserta. Menurutnya, kinerja jurnalistik adalah soal akurat atau tidak akurat, bukan soal benar atau salah," kata Arif di hari yang sama bicara dengan Heri dan Wahyu.

"Hasil kerja jurnalistik tidak bisa disalahkan sepanjang dilakukan dengan prosedur yang benar," tegas Arif. Itulah sebabnya, kebenaran yang muncul dalam produk jurnalistik merupakan kebenaran jurnalistik, bukanlah kebenaran absolut. Sehingga manakala terjadi sengketa akibat pemberitaan, sepatutnya upaya penyelesaiannya menggunakan prosedur jurnalistik pula.

Selama tiga hari workshop di Bali ini, Senin - Rabu (12 - 14 Mei 2014), peserta banyak berdiskusi tentang persoalan-persoalan manajemen krisis dan krisis komunikasi. Sehari sebelumnya, di hari kedua workshop, Selasa (13/05/2014), Asmono Wikan, Direktur Eksekutif SPS Pusat membeber tentang peta media di Indonesia. Ia juga mengajak peserta secara jernih membedakan tentang media dan pers. "Setiap yang disebut pers pasti adalah media. Dan bukan sebaliknya," ujarnya.

Adapun Silih Wasesa dari Asia PR mengajak peserta bersimulasi menganalisa isu yang berpotensi menjadi krisis. "Buatlah audit isu tiap hari, supaya jauh lebih siap menghadapi potensi krisis," sarannya.

Pada bagian lain paparannya, Silih berujar, “Etika, nilai, integritas, dan perilaku adalah hal fundamental bagi Corporate Reputation." Ia juga mengatakan bahwa seorang PR juga bisa berfungsi menjadi pengganti iklan.

Disamping berada di kelas untuk berdiskusi dan bersimulasi dengan narasumber, peserta juga berkesempatan mengunjungi Museum Pasifika di Nusa Dua, serta berkunjung ke kantor Harian Bali Post di Denpasar, pada hari kedua workshop. Workshop akhirnya ditutup dengan penyerahan sertifikat yang ditandatangani Ketua Umum SPS Pusat Dahlan Iskan kepada seluruh peserta. *** (asw)